Ibuku Pengemis

Hangatnya sinar mentari menyapa pagi. Tapi suasana hatiku tak seindah cuaca hari ini. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Ibu sudah mengenakan seragam kerjanya dan siap meninggalkan rumah. Dengan halus kucegah niatan beliau
“sudahlah bu! Ibu berhenti kerja saja! Tidakkah ibu capek keluar rumah tiap hari?”. Rasanya sudah jenuh aku mengucapkan kalimat ini setiap pagi. Namun beliau selalu mengelak, “aku masih kuat berjalan kaki walaupun berpuasa! Setiap hari aku membawa sedikitnya dua puluh ribu. Lihat istrimu! Buat apa sekolah tinggi jika hanya mengurus rumah tangga?”.

Ibu lalu bergegas pergi. Aku dan istriku hanya bisa menghela nafas panjang. Tabiat ibu memang seperti itu, kepala batu. Apalagi setelah ayahku meninggal lima tahun yang lalu. Beliau bersikeras bekerja, padahal aku sudah menggantikan peran Ayah sebagai kepala rumah tangga, walaupun penghasilanku pas-pasan.

Selepas maghrib ibu baru pulang. Raut muka beliau berseri-seri. Riana, anakku semata wayang, dipanggil, “cucuku tersayang, nenek punya oleh-oleh!”. Anakku langsung menghampiri neneknya yang masih berpeluh keringat. Mereka membuka sebuah bungkusan, tercium aroma nikmat masakan. Ibu berkata, “ada rezeki pemberian teman.Ayo dimakan!”.

Lalu beliau mengeluarkan dompet lusuhnya dan mengangsurkan selembar uang lima ribuan kepada Riana. Anakku sangat senang menerima uang itu, namun aku segera membisikinya, “Riana, disimpan di celengan dulu ya. Setelah lebaran baru kita buka sama-sama”. Dengan raut muka kecewa Riana melipat uang itu dan menyimpannya dalam celengan.
Sementara istriku membujuk ibu untuk berbuka, “Ibu, silakan makan kolak buatan saya”. Namun, ibuku menolak dengan ketus, “aku sudah berbuka di jalan. Tubuhku letih, aku istirahat saja di kamar!”. Istriku hanya diam dan tidak menanggapi sikap ibu yang dingin.

Kami memandang kotak makanan yang dibawa ibu dengan sedih. Riana sudah kuperingatkan berkali-kali bahwa ia tidak boleh memakan oleh-oleh dari neneknya. Istriku kemudian berkata, “mas, aku merasa bersalah saat membuang makanan ini, apalagi sekarang bulan Ramadhan. Aku berikan pada Pak Tarjo saja ya”. Aku hanya mengangguk, menyetujui usulan istriku untuk memberikan bungkusan makanan pada tukang sampah di kompleks perumahan.

*********

“Ayo cepat naik ke mobil! ” , komandanku memberikan perintah dengan tegas. Aku dan rekan-rekan kerjaku segera menuruti aba-abanya. Aku dan rekan-rekan kerjaku segera menuruti aba-abanya. Dengan lantang ia memberi instruksi, “hari ini kita akan mengadakan razia di alun-alun kota. Kita harus menjaga ketertiban kota, karena selama Ramadhan banyak gelandangan dan pengemis yang berkeliaran”.

Namun suasana di alun-alun tampak lengang. Hanya ada anak-anak kecil yang bermain gelembung sabun. Tak ada satupun peminta-minta di sana. Komandanku tampak geram karena operasi ini telah bocor. Ia langsung memberikan pengumuman, “besok kita adakan razia lagi!”

**********

Pagi ini Ibu hendak keluar rumah, namun dengan tegas kucegah, “Ibu, istirahatlah di rumah!”. Namun Ibu tetap bersikeras berangkat, beliau berkata ” Jika aku tidak bekerja bagaimana nasib kalian? Riana akan masuk SD tahun depan! Kuatkah engkau membiayai sekolahnya?”. Dengan halus aku membujuk Ibu, “kumohon bu! Hari ini saja Ibu tidak bekerja”. Ibu merengut saat mendengar permintaanku, beliau menghardik “ini tubuhku sendiri! Tak ada yang mampu menghalangi kemauanku. Apakah kau lupa bahwa surga berada di telapak kaki ibu? Kau mau jadi anak durhaka?”. Aku hanya diam dan terpaksa menuruti kemauan Ibu.

Setelah Ibu pergi, aku berpamitan pada istri dan anakku. Dalam perjalanan ke kantor aku berdoa dalam hati. Semoga Tuhan memberi keselamatan pada keluargaku.

Di kantor aku langsung menghampiri komandanku. Wajahnya berseri-seri ketika melihat kedatanganku. Ia berujar, “Nah! Ini baru bawahan teladan! Ayo bersiap untuk razia selanjutnya. Panggil kawan-kawanmu!” Dengan langkah gontai aku naik ke mobil.

*******

“Lari! Ada razia!” Para pengemis berhamburan saat melihat kedatangan rekan kerjaku. Mereka mencoba bersembunyi di masjid, di toilet, bahkan ada yang berpura-pura menyamar jadi tukang parkir. Di tengah kekacauan ini, aku hanya berjalan perlahan. Sampai tiba-tiba kudengar teriakan yang familiar di telingaku.

“Pak! Jangan tangkap saya! Anak saya bekerja di kantor Bapak!Namanya Adi Sasmito”, ujar wanita itu sambil menangis sesenggukan. Namun kawan-kawanku hanya tertawa. Salah satu dari mereka berucap, “Tidak mungkin Adi mempunyai Ibu seperti kamu! Ayo, tak ada alasan lagi! Panti sosial menunggumu!”

Aku langsung menghampiri keramaian itu. Wajah ibuku mencerah saat melihat kedatanganku. Beliau berteriak, “Itu dia anakku! Adi, tolong ibumu nak!”. Aku hanya mematung melihat beliau. Uang receh di mangkok plastik berhamburan di kakinya yang keriput. Haruskah aku mengaku pada kawan-kawan dan komandanku bahwa ibuku pengemis?

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!